Mesti Ada Keterbukaan Soal Alokasi Biaya Jantung Oleh BPJS
Dokter yang menangani pasien jantung akan menerapkan penanganan pasien jantung, sesuai kasus tindakan yang ditemui di masing-masing pasien jantung. Tidak semua pelayanan akan diberikan kepada pasien jantung, tergantung dengan kondisi pasien. Hal sama juga berlaku dalam pembiayaan BPJS terhadap pasien jantung. Hal ini dikatakan dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, FICA yang baru menjabat sebagai Ketua PAPDI Cabang Jakarta Raya periode 2018 – 2021.
Menurutnya, pihaknya akan lebih berkompeten lagi jika ada data yang bisa dikeluarkan dari BPJS terkait kebijakan pembiayaan untuk pasien jantung secara detil. “Yang pasti memang pembiayaan untuk pasien jantung tinggi. Kondisi pasien harus memakai stem atau by pass, kan disesuaikan dengan tindakan dokter. Selama ini dokter menerapkan pelayanan pasien jantung sesuai prosedur pelayanan pasien jantung. Kalau harus menangani dengan stem, kita berikan, kalau menangani dengan by pass kita juga berikan.”
Jika pembiayaan klaim pasien jantung disebut tinggi oleh BPJS, maka pihaknya juga ingin ada data yang bisa diberikan BPJS secara detil. “Kita kan selama ini tidak tahu, apakah pasien harus diberikan stem atau by pass. Apa obatnya yang bikin mahal, kalau sedari awal Menteri Kesehatan bicara jelas, ada yang disampaikan datanya, tentu kita juga bisa tahu, dimana letak tingginya klaim BPJS,” sebut dr Ika.
Jika yang dimaksudkan stem beberapa tahun lalu, memang stem jantung masih mahal biayanya. Namun 2 tahun terakhir, stem jantung sudah menurun harganya. “Kalau Menkes bicaranya jelas, ada yang disampaikan datanya, ini masalah stem sekian, masalah by pass sekian, nah boleh. Kalau ada keluhan biaya besar, kan baru dugaan. Harga stem katanya mahal, dulu mahal, sekarang sudah tidak lagi. Harganya bahkan sudah jatuh untuk RS pemerintah, entah apa turun juga untuk RS swasta, kan BPJS yang mengatur,” katanya.
Menurut dr Ika, pihaknya ingin ada kejelasan data, jadi ada pembuktian dimana pembiayaan untuk jantung oleh BPJS disebut mahal. “Kalau mau BPJS ngomong bahwa pembiayaan jantung itu tinggi, dan dimana mahalnya, apa ditreatment dengan stem atau by pass. Kita tidak tahu karena dua-duanya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien. Tapi kan harus jelas, datanya bagaimana, stem berapa, by pass berapa, yang jelas pengobatan jantung dan peralatannya memang masih mahal,” ujarnya.
Setiap tindakan yang diambil dokter jantung tentu awalnya ada indikasi seperti apa. Jika memang pasien tidak mengalami keluhan tentu dokter juga tidak akan mengambil tindakan berlebihan. “Kalau tidak ada keluhan dari pasien, mau ngapain juga. Nah indikasi kedua setelah ada keluhan, ada pemeriksaan yang ditunjang dengan alat.”
Menurutnya, tidak semua orang punya keluhan yang sama, ada yang memang terkena serangan jantung, ada yang bukan serangan jantung. Kalau serangan jantung maka wajib dilakukan pemasangan stem atau by pass jika dperlukan. Kalau bukan dikarenakan ]serangan jantung akan dilihat dulu keluhannya bagaimana, apakah pasien masih bisa berjalan. Semuanya tentu dilihat oleh dokter yang memeriksa pasien dan masing-masing dokter punya alasan untuk mengambil tindakan terhadap pasien jantung, tentu alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sebagai dokter yang menangani pasien diakui dr Ika, pihaknya tidak mengerti aturan tentang mana-mana pengobatan yang ditanggung BPJS terhadap pasien jantung. “Ya agak susah ya, kan kita memang tidak tahu, BPJS seperti apa aturan pembiayaannya. Syarat ini, syarat itu. Pembiayaan memang aturannya RS dengan BPJS. Kalau memang kemudian ada disebut pembiayaan terlalu besar untuk pasien jantung dan dianggap berlebihan, saya rasa mesti ada warming buat rumah sakitnya, ini sudah ada kelebihan dana.”
Berbagai aturan penerapan BPJS yang sudah diterapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan seolah tanpa ada pengawasan. Dokter bekerja sesuai panduan nasional terhadap penanganan pasien jantung. Itu pun dokter memiliki kemampuan yang berbeda-beda sesuai tingkatan ilmu yang dimilikinya.
“Yang jelas saya rasa tidak ada pengawasan dari BPJS, dari rumah sakit. Rumah Sakit memang menyetujui permintaan dokter atas tindakan pasien. Tidak semua pemeriksaan dan pengobatan ditanggung BPJS. Kalau tindakan dokter tidak ditanggung BPJS dan pasien tidak mampu, dokter juga serba terbatas dalam melayani pasien. Sementara pasien juga sebenarnya tidak mau kalau terlalu berlebihan dalam penanganannya. Kita sesuaikan dengan aturan BPJS saja, kalau kita melayani melebihi alokasi yang sudah ditentukan BPJS, nanti rumah sakit yang kewalahan karena tidak dipenuhi pembayarannya oleh BPJS,” ujar dr Ika.
Promotif dan Preventif
dr Ika menyarankan langkah terbaik agar penderita jantung tidak tinggi jumlahnya dan menyebabkan angka kematian yang juga tinggi, pemerintah harus melakukan upaya promotif dan preventif yang lebih gencar. Mendorong juga berbagai perusahaan melalui CSR untuk melakukan hal sama. Selama ini tidak ada upaya pencegahan melalui sosialisasi promotif dan preventif yang dilakukan secara terus menerus. Akibatnya, jumlah perokok di Indonesia tidak mengalami kekurangan, yang ada jumlahnya semakin bertambah dengan usia yang juga semakin muda.
“Penyebab kematian akibat jantung itu kan ada faktor penyebabnya, bisa dimulai dari strokenya, datanya tentu ada di Kemenkes. Ada banyak faktor pemicu jantung. Dilihat juga dari kebiasaan masyarakatnya di perkotaan, tapi dilihat dari usia, kematian jantung memang masih didominasi usia di atas 40 tahun. Apalagi sekarang serba pencet handphone, membuat tubuh malas bergerak, layanan serba cepat memang memudahkan tapi berisiko tubuh tidak bergerak. Gaya hidup, akibatnya terlalu mengonsumsi makanan berisiko ke diabetes, stroke, jantung dan lainnya. Ada juga faktor keturunan.”
Menurutnya, butuh pengawasan dan upaya promotif preventif yang gencar. Kalau tidak kejadiannya akan selalu sama, tanpa ada evaluasi. “Sekarang kan yang diminati handphone, mereka bisa mudah lihat youtube atau hal apa saja. Masukkan tuh iklan-iklan larangan merokok, ajak masyarakat hidup sehat,” ujarnya.
Sementara kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok, juga tidak akan menyebabkan pengaruh yang signifikan untuk menurunkan jumlah perokok. Apalagi masih ada kebiasaan masyarakat atau tokoh agama yang begitu kuat untuk merokok dan memandang merokok tidaklah haram, alias makruh. Seharusnya ada fatwa yang jelas bahwa merokok itu haram, karena jelas-jelas merusak tubuh.
“Mau dinaikkan harganya tidak akan banyak pengaruhnya. Apalagi kebiasaan orang kita suka minta rokok pada temannya, karena memang sudah kecanduan. Sudah dikasih gambar yang seram di bungkus rokok, tetap saja pembeli rokok masih tinggi,” katanya.
Sementara untuk penderita jantung yang memakai ring jantung, dikatakan dr Ika, harus dilihat dulu permasalahannya. Tidak benar jika ada mitos, penderita jantung akan lebih mudah kehilangan nyawa jika sudah dipakaikan ring jantung. Harus dilihat dulu kasusnya, apakah serangan jantung, penderita sudah lama mengidap jantung koroner, komplikasinya bagaimana. Namun yang jelas, tidak benar jika disebut pemakaian ring jantung malah mempercepat kematian penderita jantung.