Aktivis Lingkungan Ingatkan Rentannya Pembangunan PLTN
Belajar dari kasus kecelakaan nuklir Fukushima, Jepang
Telescopemagz.com – Indonesia perlu belajar dari kasus temuan perpindahan radioaktivitas yang mengkhawatirkan di Fukushima, Jepang. Apalagi, masih ada pandangan yang mengarah bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia adalah solusi bagi energi masa depan.
Kasus Fukushima Daiichi mengingatkan peristiwa pada 11 Maret 2011 dimana terjadi gempa bumi dan tsunami yang memicu kecelakaan nuklir terburuk di pabrik Tokyo Electric Power Co Fukushima Daiichi. Peristiwa yang terjadi di 220 kilometer timur laut Tokyo ini, menjadi ledakan nuklir terbesar sejak Chernobyl di Uni Soviet pada 1986. Insiden itu memaksa ratusan ribu orang mengungsi.
Menurut Eksekutif Nasional WALHI, Dwi Sawung, perlu persiapan matang untuk Indonesia dalam pembangunan PLTN. Pasalnya SDM Indonesia belum siap, apalagi Indonesia merupakan wilayah yang paling rentan dengan berbagai bencana alam maupun yang disebabkan karena SDM-nya.
“Contoh kasus yang terjadi belum lama adalah penemuan limbah radioaktif di Perumahan BATAN, ini membuat pembangunan PLTN di Indonesia sama saja menyalakan bom waktu,” ungkap Dwi Sawung, dalam media briefing Peringatan 9 Tahun Fukushima di Jakarta, (11/3/2020).
“Kasus dibuangnya limbah radioaktif oleh pegawai BATAN di perumahan BATAN Indah, Tangsel menunjukan bahwa petugas kita masih lalai dan kelalaian itu dibiarkan bertahun-tahun tanpa hukuman yang tegas,” ujarnya.
Kemudahan dan percepatan perizinan PLTN yang tercakup dalam Omnibus Law, juga menjadi kekhawatiran tersendiri di tengah tidak tepatnya pembangunan PLTN untuk kebutuhan energi Indonesia.
Ditambahkan Satrio Swandiko, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, “Indonesia jelas membutuhkan energi yang murah untuk masyarakat Indonesia. Namun investasi untuk PLTN bukanlah investasi yang murah, apabila dibandingkan dengan teknologi lain, investasi pembangkit nuklir merupakan salah satu yang terbesar.”
Risiko energi berbiaya tinggi
Apabila dibandingkan dengan beberapa teknologi lain, dengan biaya investasi awal (dalam bentuk overnight capital cost) sebesar 6.317 USD/kW dan biaya operasi dan maintenance sebesar 121,13 USD/kW, PLTN termasuk dalam kategori berbiaya tertinggi.
Saat ini di Indonesia PLTN dengan teknologi Molten Salt Reactor (MSR) dengan bahan bakar Thorium sebesar 500 MW, rencananya akan dibangun oleh ThorCon International yang juga telah menanamkan investasinya dalam proyek ini sebesar Rp 17 triliun.
“Ini adalah perjudian dengan risiko kerugian yang sangat besar, teknologi ini belum teruji untuk bisa beroperasi secara komersial di belahan dunia manapun. Apakah rakyat Indonesia mau dijadikan percobaan pertama di saat pilihan energi terbarukan yang lebih murah dan aman justru disia-siakan?,” kecam Satrio.
Marlistya Citraningrum, selaku Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR)Tren global menunjukkan, bahwa pembangkitan biaya listrik untuk energi terbarukan seperti surya mengalami penurunan drastis, dan semakin kompetitif dengan pembangkitan listrik konvensional.
LCOE surya global sudah mencapai USD 32 – 44/MWh, sedangkan nuklir di kisaran USD 118 – 198/MWh (Lazard, 2019).
LCOE energi terbarukan di Indonesia juga mengalami penurunan, berdasarkan analisa IESR, biaya pembangkitan listrik surya skala besar dapat mencapai USD 58,4/MWh (batas bawah), hampir menyamai PLTU supercritical (USD 57,7 MWh), PLTU ultra supercritical (USD 58,3), dan PLTU mulut tambang (USD 50,1/MWh).
LCOE ini akan terus turun dengan perbaikan kerangka kebijakan dan regulasi, termasuk insentif untuk menghilangkan market barrier seperti feed-in-tariff dan penggunaan skema lelang terbalik yang didesain dengan baik. Dengan potensi energi surya yang berlimpah, mencapai 655 GWp untuk bangunan residensial saja, sifatnya yang modular dan mudah dibangun di beragam lokasi, surya akan menjadi ujung tombak transisi energi di Indonesia.
Pewarta: Budi
Editor: Ari