Di Masa Sulit Akibat Wabah Corona, Pemerintah Jangan Lupakan Kehidupan Para Jurnalis
Telescopemagz.com — Menyikapi kondisi penyebaran virus Corona atau Covid-19, banyak daerah yang sudah menerapkan kebijakan karantina wilayah. Kebijakan tersebut mewajibkan semua warga harus tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan dari rumah. Anak sekolah pun sudah diliburkan hampir dua minggu berjalan, dan mewajibkan para siswa belajar dari rumah (online learning).
Bagi beberapa kelompok warga, kebijakan lockdown ala Indonesia (red-karantina biaya mandiri) tidak begitu merepotkan, terutama bagi mereka yang berstatus sebagai pegawai pemerintah atau pengusaha. Kelompok warga ini, walau di level kepegawaian rendahan sekalipun, masih memiliki harapan untuk mendapatkan tunjangan pembiayaan hidup sehari-hari. Minimal dari gaji bulanan mereka.
Sementara bagi sebagian rakyat, seperti dikatakan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, bagi sebagian besar rakyat, kebijakan tinggal di rumah merupakan sesuatu yang sangat merisaukan.
“Karyawan atau buruh pabrik, pedagang kaki lima, dan tukang ojek adalah beberapa kelompok masyarakat yang hidupnya hanya berharap dari kerja harian. Uang yang didapat hanya cukup untuk biaya hidup dari hari ke sehari. Dapat uang hari ini, habis untuk biaya hari ini, kadang tidak cukup,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (2/4/2020).
Kondisi yang hampir sama juga dialami ratusan ribu jurnalis se-Indonesia. Kehidupan mereka juga amat memprihatinkan, hidup sehari-hari dengan pendapatan seadanya.
“Wartawan Indonesia adalah salah satu kelompok rakyat yang selama ini terabaikan di negerinya sendiri. Taraf perekonomian kebanyakan para jurnalis tergolong berada di bawah garis pra-sejahtera (untuk tidak mengatakan garis kemiskinan),” ujar Wilson.
Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang membuat kesejahteraan para jurnalis di Tanah Air sulit beranjak naik. “Jangankan untuk menabung, pendapatan sehari-hari saja hanya cukup untuk biaya keseharian keluarganya. Jikapun ada wartawan yang sejahtera, umumnya mereka adalah pemilik media atau jurnalis yang mempunyai bisnis di luar jurnalistik.”
Beberapa perusahaan media yang memiliki ribuan wartawan, sebutlah Kompas sebagai contoh, dapat memberikan penghasilan yang hampir memadai bagi wartawannya. Perusahaan media nasional itu memiliki beberapa jaringan bisnis non-jurnalistik, seperti properti, perhotelan, hingga perkebunan dan pertambangan. Hal tersebut menjadikan Kompas dapat bertahan di tengah gelombang dasyat kemajuan media online, yang tidak dapat dimonopoli oleh media tertentu saja.
Walaupun begitu, pola pemberian gaji bagi para wartawan media nasional sebesar Kompas, tidaklah sama, alias tidak merata bagi ribuan wartawannya itu. Kinerja sang wartawan amat menentukan penghasilan yang bersangkutan. Dengan kebijakan media besar seperti ini, tentunya masih menyisakan banyak rekan wartawannya yang hidup pas-pasan, dapat sehari, habis sehari.
“Jika kondisi kalangan jurnalis yang bekerja di media-media besar yang mempunyai jaringan bisnis beromset miliaran hingga triliunan rupiah, masih cukup memprihatinkan, maka dapat dibayangkan kehidupan para jurnalis di daerah-daerah, yang hanya bermodal idealisme dan semangat empat lima. Bekerja dengan bermodal sebuah android untuk merekam hasil wawancara, sekaligus mengambil foto sang nara sumber dan obyek berita, tentunya tidak akan memberikan hasil (pendapatan) yang cukup,” bebernya.
Akibatnya, lanjut Wilson, di saat-saat genting masa karantina seperti sekarang, kalangan jurnalis merupakan kelompok rakyat yang amat rapuh dari sisi ekonomi. Sebagian besar mereka tidak memiliki persediaan kebutuhan hidup, tidak juga memiliki tabungan dana yang memadai untuk menjalani masa karantina, walau untuk beberapa hari saja.
“Jika sang wartawan memiliki keluarga dengan jumlah anak yang cukup banyak, semisal 3 atau 4 orang, tentunya menjadi beban yang sangat berat baginya. Wartawan tidak akan pernah berputus asa, apalagi mengeluh, terlebih lagi mengemis kepada siapapun,” ujarnya.
Idealisme seorang wartawan
Idealisme seorang wartawan yang selalu siap untuk hidup menderita, merupakan pegangan utama bagi mereka. Jangan pernah berharap, bahwa wartawan akan datang ke pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk sekadar meminta bantuan. Justru, para jurnalis sejati akan bergerak untuk menggalang kekuatan dalam mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat. Wartawan hanya lantang suara ketika memperjuangkan rakyat, tetapi diam seribu bahasa jika bicara soal nasib-hidupnya sendiri.
“Walaupun wartawan diam, janganlah beranggapan mereka kuat dan mampu bertahan tanpa makan-minum sehari-hari. Wartawan tetaplah manusia. Mereka butuh asupan makanan untuk tetap bisa hidup. Mereka juga butuh menghidupi anak-istrinya sebagai bagian dari tanggung jawab kemanusiaannya di keluarganya,” katanya.
Pemerintah semestinya tidak melupakan kalangan jurnalis sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang wajib diayomi dan dilindungi hidupnya. Berikan akses ke sumber-sumber ekonomi yang ada di lingkungan pemerintah, baik dari alokasi anggaran APBN/APBD maupun bentuk bantuan lainnya.
Pemanfaatan keuangan yang bersumber dari dana CSR perusahaan-perusahaan yang ada di daerah masing-masing dapat dimaksimalkan membantu warga masyarakat terdampak, termasuk kalangan wartawan.
Menurut Wilson, paling penting dari semua ini adalah bahwa para pengambil kebijakan di pemerintahan daerah semestinya peka terhadap kebutuhan warganya, terutama dari kalangan “pendiam” wartawan.
“Mereka adalah bagian dari tanggung jawab Anda, karena mereka adalah rakyat Anda. Saya hanya menyuarakan keresahan ratusan ribu wartawan se-nusantara, yang tidak pernah mereka utarakan, bahkan kepada saya pun tidak pernah,” pungkasnya.
Pewarta : Husnie
Editor : Ari