Benteng Pendem Ngawi : Cerita Dulu dan Sekarang

 Benteng Pendem Ngawi : Cerita Dulu dan Sekarang

Ngawi, Telescopemagz.com Tidak ada yang tahu, dahulu Ngawi merupakan daerah transit perdagangan. Karena hal inilah Belanda (VOC) mendirikan sebuah benteng untuk dijadikan pusat kontrol perdagangan saat itu. Jawa masih menganut sistem kerajaan saat itu. Konflik internal kerajaan dijadikan komoditi politik oleh VOC untuk dapat diadakan kerjasama dibidang ekonomi. Sebut saja pemberontakan Amangkurat V  di keraton Kertasura (yang kemudian keraton pindah ke Surakarta karena ada serangan dari masyarakat Tionghoa ke keraton Kertasura) yang terkait dengan daerah ini.

Hingga saat ini masih mencari riset secara sejarah kebudayaan asal usul yang benar. Terutama ada garis kekuasan Ki Ageng Jogorogo yang di titahkan Raja Pakubuwono II ( 1726-1749) yang pernah berkunjung ke kadipaten Gendingan untuk menitipkan  Raden Mas Arya Kartonegoro berkuasa di kadipaten Gendingan ( cikal bakal Ngawi bagian Barat) yang sengaja di hilangkan oleh pemerintahan VOC Belanda saat itu antara tahun 1753- 1758). Dan diadakan konspirasi VOC dengan raja raja kecil jawa,dan diangkatlah Adipati Kartonegoro yang berkuasa pada tahun 1837-1839. Tujuannya supa daerah ngawi ini dijadikan daerah boneka penjajah. (ada di Babad Giyanti – sejarah pembagian Jawa pada 13 Februari 1755)

Benteng ‘dipendem’ ke tanah >Pembangunan Benteng Pendem di Jawa ada dua daerah yakni Benteng Pendem Cilacap (1861-1879), nama asli benteng ini adalah Kustbatterij Op De Landtong Te Tjilatjap yang artinya “bangunan benteng” yang menjorok ke Laut Cilacap.Dan Benteng pendem Ngawi (1839-1845), Benteng ini dibangun di bawah pimpinan Gubernur Jendral Van Den Bosch. Benteng ini juga disebut sebagai Benteng Van den Bosch. Nama Benteng Pendem Ngawi berasal dari julukan masyarakat setempat “benteng cekung” karena dibangun lebih rendah dari tanah di sekitarnya. Kedua Benteng pendem ini di dirikan untuk mengontrol perdagangan ekonomi dan tempat penjara bagi penduduk lokal. Di Pendem artinya benteng dibuat dengan dipendam dalam tanah di kedalaman lebih dari 4 hingga 5 meter. Dengan tujuan tidak terlihat uluh musuh. Terlihat adanya gundukan tanah di sekitar benteng.

Saat redaksi telescopemagz.com berkunjung pada tahun 2018 lalu benteng dijadikan tempat sarang burung walet,dan tidak terawat.Aroma mistis sangatlah kental saat menjelang magrib. Dan setelah dua tahun barulah diadakan revitalisasi pada  pada 10 Desember 2020 oleh Presiden Joko Widodo  dan menunjuk  PT Nindya Karya bekerjasama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jawa Timur. Dan dikerjakan selama 26 bulan dan menyedot anggaran Kementrian PUPR senilai 113,7 Miliar. Diharapkan Benteng Pendem Ngawi (Benteng Van den Bosh) ini dapat djadikan destinasi wisata dan edukasi juga.Untuk jam kunjung  senin-Jumat pada pukul 08.00-17.00 dengan merogoh kocek  Rp. 10.000

Sistem Drainase Masih berjalan >Kita bisa belajar tentang sistem drainasi yang baik dari benteng ini yang disusun sedemikian sehingga sistem drainase atau penyerapan air berjalan baik. Berdasarka sumber dari sesepuh warga Ngawi Purba, Benteng Pendem Ngawi saat terjadi banjir besar (dengan ketinggian 3 meter) sistem drainase berjalan baik, pembuangan air di buang ke daerah tempuran ( pertemuan dua sungai) yakni Sungan Bengawan Solo dan Sungai Bengawan Madiun. Di lokasi ini saat kering atau surut terdapat endapan dan banyak kandungan emasnya.Terbukti pada malam hari maupun sore banyak penduduk Ngawi Purba yang mendulang emas di saan dengan menggunakan satu-dua bilah bambu.

Pahlawan Bangsa,Pengikut Setia Kanjeng Pangeran Diponegoro >Disekitar Benteng Pendem Ngawi saat dahulu keadaan demografinya banyak warga santri yang tinggal disekeliling benteng. Hal ini terlihat adanya makam KH Muhammad Nursalim berada di dalam benteng. Beliau merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang melawan penjajah Belanda dari tahun 1825-1830.Dan setelah Pangeran Diponegoro diasingkan ke Menado (Benteng Nieuw Amsterdam) pada tahun 1834 dan meninggal di Benteng Roterdam, Makassar pada tanggal 8 Januari 1855. Pangeran Diponegoro sendiri merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwana III. Setelah itu perlawanan diteruskan pengikutnya oleh pengikutnya yakni KH Muhammad Nursalim, yang menurut sumber dikubur hidup-hidup dan dimakamnya tumbuh sebuah pohon. Dan kejadian ini aib bagi penjajah Belanda saat itu, yang tidak menyetujui ada adanya kematian di dalam benteng. Pemugaran dilakukan oleh Komandan Batalyon Armed 12 pada tanggal 17 Agustus 1992.

Teks : Eka C Herlambang

Foto : Istimewa/Dokumen Pribadi

Fajar Irawan

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *